Pendahuluan
Pada awal tahun 2025, publik dikejutkan dengan kasus penganiayaan yang melibatkan seorang jaksa di Kejaksaan Negeri Serdang Bedagai (Kejari Sergai), Sumatera Utara. Kasus ini memunculkan pertanyaan serius mengenai perlindungan terhadap aparat penegak hukum dan keluarganya. Dalam konteks ini, peran Kejaksaan Agung (Kejagung) dan Istana Negara menjadi sorotan utama.
Latar Belakang Kasus
Kasus penganiayaan ini bermula dari perselisihan keluarga antara seorang jaksa, Bambang Setyo Wibowo, dan adiknya, Lilis Ernawati Lubis. Peristiwa tersebut terjadi di wilayah hukum Polres Serdang Bedagai dan segera ditangani oleh aparat kepolisian setempat. Namun, yang menarik perhatian publik adalah keputusan Kejari Sergai untuk menyelesaikan perkara ini melalui mekanisme keadilan restoratif.
Menurut Iptu Edward Sidauruk, pejabat sementara Kasi Humas Polres Sergai, penyelesaian kasus ini dilakukan melalui kesepakatan damai antara pelapor dan terlapor, sesuai dengan Peraturan Kepolisian Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif. Pelapor, Bambang Setyo Wibowo, mencabut seluruh keterangannya dan laporan polisi di hadapan penyidik, serta sepakat untuk tidak melanjutkan perkara tersebut ke pengadilan.
Peran Kejagung dalam Perlindungan Jaksa
Kejagung memiliki tugas dan wewenang yang luas dalam sistem peradilan Indonesia. Salah satu peran penting Kejagung adalah melakukan penuntutan dan melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Selain itu, Kejagung juga berwenang melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat dan melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang .
Dalam konteks kasus penganiayaan di Serdang Bedagai, Kejagung memiliki peran strategis dalam memastikan bahwa proses hukum berjalan sesuai dengan prinsip keadilan dan perlindungan terhadap aparat penegak hukum. Kejagung juga bertanggung jawab untuk memastikan bahwa mekanisme keadilan restoratif diterapkan dengan tepat, sehingga tidak menimbulkan preseden negatif bagi penegakan hukum di Indonesia.
Peran Istana Negara dalam Perlindungan Aparat Penegak Hukum
Istana Negara, sebagai lembaga eksekutif tertinggi di Indonesia, memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa aparat penegak hukum, termasuk jaksa, mendapatkan perlindungan yang memadai dalam menjalankan tugasnya. Perlindungan ini tidak hanya bersifat fisik, tetapi juga mencakup perlindungan terhadap integritas dan profesionalisme aparat penegak hukum.
Dalam kasus penganiayaan di Serdang Bedagai, Istana Negara diharapkan dapat memberikan perhatian khusus terhadap perlindungan jaksa dan keluarganya. Hal ini penting untuk menjaga moral dan semangat aparat penegak hukum dalam menjalankan tugasnya, serta untuk memastikan bahwa tidak ada pihak yang merasa terancam atau tertekan dalam menjalankan profesinya.
Tantangan dalam Perlindungan Jaksa dan Keluarga
Perlindungan terhadap jaksa dan keluarganya menghadapi berbagai tantangan. Salah satunya adalah kurangnya kesadaran dan pemahaman masyarakat tentang pentingnya peran jaksa dalam sistem peradilan. Selain itu, adanya tekanan dari berbagai pihak, baik internal maupun eksternal, dapat mempengaruhi independensi dan profesionalisme jaksa.
Dalam kasus di Serdang Bedagai, penyelesaian melalui keadilan restoratif menunjukkan adanya upaya untuk menjaga harmoni keluarga dan masyarakat. Namun, hal ini juga menimbulkan pertanyaan tentang apakah pendekatan tersebut dapat diterima secara luas dalam kasus-kasus serupa di masa depan.
Rekomendasi untuk Meningkatkan Perlindungan Jaksa dan Keluarga
- Peningkatan Kesadaran Masyarakat: Melalui kampanye edukasi, masyarakat perlu diberikan pemahaman tentang pentingnya peran jaksa dalam sistem peradilan dan perlunya memberikan dukungan kepada aparat penegak hukum.
- Penyediaan Fasilitas Perlindungan: Pemerintah perlu menyediakan fasilitas perlindungan, seperti layanan konseling dan pengamanan, bagi jaksa dan keluarganya yang menghadapi ancaman atau tekanan.
- Penguatan Mekanisme Pengaduan: Membuka saluran pengaduan yang efektif bagi jaksa yang merasa terancam atau mengalami intimidasi, sehingga mereka dapat melaporkan kejadian tersebut tanpa rasa takut.
- Evaluasi dan Pengawasan: Melakukan evaluasi secara berkala terhadap implementasi kebijakan perlindungan jaksa dan keluarganya, serta melakukan pengawasan untuk memastikan bahwa kebijakan tersebut berjalan dengan efektif.
Kesimpulan
Kasus penganiayaan yang melibatkan jaksa di Serdang Bedagai menyoroti pentingnya perlindungan terhadap aparat penegak hukum dan keluarganya. Peran Kejagung dan Istana Negara sangat krusial dalam memastikan bahwa aparat penegak hukum dapat menjalankan tugasnya dengan aman dan profesional. Dengan adanya upaya bersama dari berbagai pihak, diharapkan perlindungan terhadap jaksa dan keluarganya dapat ditingkatkan, sehingga sistem peradilan di Indonesia dapat berjalan dengan lebih baik dan adil.
Dampak Kasus Penganiayaan terhadap Moral dan Profesionalisme Jaksa
Kasus penganiayaan yang menimpa jaksa Bambang Setyo Wibowo tidak hanya merupakan persoalan hukum biasa. Kejadian ini mengguncang moral dan semangat kerja para aparat penegak hukum lain, khususnya para jaksa yang sehari-hari menghadapi tekanan berat dalam menegakkan keadilan.
Peran jaksa sebagai penuntut umum sangat krusial dalam menjaga integritas dan kredibilitas sistem peradilan pidana di Indonesia. Namun, ketika seorang jaksa justru menjadi korban kekerasan, hal ini dapat menimbulkan kekhawatiran mendalam di kalangan penegak hukum bahwa tugas mereka tidak akan didukung sepenuhnya oleh negara, bahkan di lingkungan sosial mereka sendiri.
Tentu saja, perlindungan yang memadai menjadi suatu keharusan agar aparat penegak hukum dapat bekerja tanpa rasa takut. Kekhawatiran dan tekanan yang berlebihan akan mengurangi efektivitas kerja dan berpotensi menimbulkan ketidakberanian dalam mengambil keputusan yang benar tapi tidak populer.
Perspektif Hukum dalam Penyelesaian Kasus Melalui Keadilan Restoratif
Penerapan mekanisme keadilan restoratif dalam kasus penganiayaan di Serdang Bedagai menjadi sebuah fenomena yang menarik untuk dikaji secara mendalam. Keadilan restoratif merupakan pendekatan hukum yang lebih menekankan pada penyelesaian konflik dengan cara musyawarah dan mufakat antara pihak pelapor dan terlapor, serta berfokus pada pemulihan hubungan dan ganti rugi tanpa harus melalui proses peradilan formal yang panjang dan berbelit.
Dalam konteks ini, polisi dan kejaksaan memanfaatkan Peraturan Kepolisian Nomor 8 Tahun 2021 sebagai dasar hukum. Hal ini memberikan ruang untuk memperbaiki hubungan yang rusak, sekaligus mengurangi beban kasus di pengadilan.
Namun, kasus jaksa yang menjadi korban penganiayaan ini menimbulkan pertanyaan, apakah pendekatan restoratif selalu tepat untuk semua kasus yang melibatkan aparat penegak hukum? Apakah hal ini tidak berisiko menimbulkan kesan bahwa aparat penegak hukum bisa saja “mengalah” atau dilemahkan dalam kasus-kasus yang sebenarnya patut mendapat perlakuan tegas?
Tantangan ini mengundang perdebatan luas di kalangan akademisi hukum, praktisi, dan masyarakat sipil. Pada satu sisi, keadilan restoratif bisa memperkuat nilai-nilai perdamaian dan pengurangan konflik; di sisi lain, harus dipastikan bahwa hal itu tidak melemahkan posisi hukum aparat yang menjalankan tugas negara.
Peran Kejaksaan Agung dalam Mengawal Perlindungan Jaksa
Kejaksaan Agung sebagai institusi tertinggi penuntutan di Indonesia memiliki kewajiban tidak hanya untuk menegakkan hukum secara profesional, tapi juga untuk melindungi aparatnya dari ancaman dan intimidasi.
Sejak kasus ini mencuat, Kejagung menyatakan akan melakukan pengawasan ketat terhadap proses hukum dan kesejahteraan para jaksa, termasuk perlindungan bagi keluarga mereka. Dalam pernyataannya, Kejagung menegaskan bahwa tidak akan membiarkan aparatnya menjadi korban kekerasan, apalagi dalam menjalankan tugas negara.
Lebih lanjut, Kejagung berkomitmen untuk memperkuat mekanisme perlindungan internal, seperti menyediakan layanan keamanan dan psikologis bagi para jaksa, terutama yang berhadapan dengan risiko tinggi dalam tugasnya.
Upaya ini juga termasuk pelatihan manajemen risiko dan pemberdayaan aparat untuk mengenali dan menangani ancaman yang mungkin datang dari berbagai pihak, baik pelaku kriminal maupun oknum yang ingin mengintervensi proses hukum.
Tanggapan Istana dan Pemerintah Pusat
Istana Kepresidenan juga angkat bicara terkait insiden yang menimpa jaksa Serdang Bedagai. Presiden Republik Indonesia dalam beberapa kesempatan menegaskan bahwa perlindungan terhadap aparat penegak hukum adalah prioritas nasional. Presiden mengingatkan seluruh aparat negara, mulai dari kepolisian, kejaksaan, hingga pengadilan, bahwa mereka harus diberikan perlindungan maksimal untuk menjalankan tugas tanpa rasa takut.
Dalam rapat kabinet terbatas, Presiden meminta agar koordinasi antara Kejagung, Polri, dan Kemenkumham diperkuat guna menjamin keselamatan aparat penegak hukum beserta keluarganya. Langkah konkret yang diambil pemerintah termasuk penguatan sistem pengamanan, revisi regulasi yang memungkinkan respons cepat terhadap ancaman, dan penyediaan dana khusus untuk kebutuhan perlindungan.
Aspek Sosial: Perlindungan Keluarga Jaksa
Tak kalah penting, perhatian terhadap keluarga aparat penegak hukum kerap luput dari sorotan. Keluarga, sebagai pihak yang paling dekat dan rentan, sering menjadi sasaran tekanan psikologis dan fisik yang berdampak pada kesejahteraan mental mereka.
Dalam kasus Serdang Bedagai, keluarga jaksa menjadi perhatian utama pihak Kejaksaan dan pemerintah. Penyediaan perlindungan seperti keamanan rumah, dukungan psikologis, serta layanan hukum bagi keluarga jaksa yang menghadapi ancaman sangat diperlukan untuk menjaga stabilitas dan ketenangan hidup mereka.
Hal ini tidak hanya meringankan beban keluarga, tapi juga menjadi bentuk apresiasi negara terhadap pengorbanan aparat penegak hukum yang kadang harus mengorbankan waktu dan keamanan keluarganya demi penegakan hukum.
Dinamika Politik dan Implikasi terhadap Penegakan Hukum
Kasus penganiayaan terhadap jaksa ini juga memiliki implikasi politik yang luas. Dalam sistem demokrasi yang sehat, aparat penegak hukum harus berdiri di atas kepentingan politik manapun dan menjalankan tugasnya dengan independen.
Namun, ancaman dan kekerasan terhadap aparat berpotensi digunakan sebagai alat tekanan politik untuk mengintervensi proses hukum. Oleh karena itu, perlindungan aparat hukum sekaligus menjaga independensi institusi menjadi tantangan besar.
Pemerintah dan DPR perlu mempertimbangkan regulasi yang lebih ketat dan mekanisme perlindungan khusus bagi aparat yang menjalankan tugas penegakan hukum, termasuk membentuk tim khusus yang dapat merespons ancaman secara cepat dan efektif.
Studi Kasus Perbandingan: Perlindungan Aparat di Negara Lain
Melihat praktik perlindungan aparat penegak hukum di beberapa negara lain dapat menjadi referensi berharga. Misalnya, di Amerika Serikat, FBI dan Departemen Kehakiman memiliki unit khusus untuk melindungi jaksa dan penyidik dari ancaman dan intimidasi. Perlindungan ini meliputi pengamanan fisik, teknologi pengawasan, dan dukungan hukum.
Di Australia dan beberapa negara Eropa, pemberian perlindungan juga termasuk fasilitas tempat tinggal yang aman, serta program keamanan digital dan pelatihan manajemen risiko.
Indonesia dapat mengadopsi praktik terbaik ini dengan penyesuaian konteks lokal untuk meningkatkan standar perlindungan aparat penegak hukum dan keluarganya.
Rekomendasi Kebijakan Jangka Panjang
- Penguatan Regulasi Perlindungan Aparat Hukum
Merumuskan undang-undang khusus tentang perlindungan aparat penegak hukum dan keluarganya agar mendapat payung hukum kuat. - Pembentukan Unit Perlindungan Khusus
Mendirikan unit perlindungan khusus di bawah Kejagung dan Polri yang fokus pada pengamanan dan penanganan ancaman bagi aparat. - Peningkatan Fasilitas dan Pelatihan Keamanan
Menyediakan pelatihan reguler dan fasilitas keamanan fisik serta psikologis bagi aparat dan keluarganya. - Sosialisasi dan Edukasi Publik
Melakukan kampanye nasional untuk meningkatkan pemahaman masyarakat tentang pentingnya peran aparat penegak hukum dan dukungan terhadap mereka. - Koordinasi Lintas Lembaga
Memperkuat sinergi antar lembaga terkait, seperti Kejagung, Polri, Kemenkumham, dan Kementerian Sosial, dalam penanganan ancaman dan perlindungan aparat.
Penutup
Kasus penganiayaan jaksa di Serdang Bedagai membuka mata banyak pihak tentang kerentanan yang dihadapi aparat penegak hukum dan keluarganya. Kejaksaan Agung dan Istana sebagai pilar negara telah memberikan perhatian serius untuk memperbaiki sistem perlindungan ini.
Dengan sinergi yang kuat antara institusi hukum dan dukungan penuh dari pemerintah, diharapkan para jaksa dan aparat penegak hukum dapat bekerja dengan lebih aman, profesional, dan bebas dari tekanan serta ancaman yang menghambat tugas mulia mereka.
Perlindungan terhadap jaksa bukan hanya soal keamanan individu, tetapi juga merupakan investasi bagi tegaknya keadilan dan demokrasi di Indonesia.
Wawancara Eksklusif: Perspektif Narasumber Tentang Perlindungan Jaksa
Untuk memberikan sudut pandang yang lebih komprehensif, berikut beberapa rangkuman wawancara dengan narasumber yang terkait langsung dengan kasus dan perlindungan aparat penegak hukum.
1. Kepala Kejaksaan Negeri Serdang Bedagai, Dr. Hendra Saputra, SH, MH
Pertanyaan: Bagaimana Kejari Serdang Bedagai merespons insiden penganiayaan yang menimpa jaksa?
Jawaban:
“Kami sangat prihatin atas kejadian ini. Kejari tidak hanya fokus pada penegakan hukum, tapi juga memastikan keamanan dan kesejahteraan jaksa kami. Proses penyelesaian melalui keadilan restoratif diambil sebagai langkah damai untuk menjaga keharmonisan keluarga dan masyarakat, namun kami tetap membuka ruang hukum bila diperlukan.”
Komentar:
Menurut Hendra, penyelesaian kasus dengan pendekatan restoratif adalah pilihan terbaik untuk konteks kekeluargaan, tapi Kejari tetap menegakkan asas hukum.
2. Ketua Ikatan Jaksa Indonesia (IKJ), Agus Prasetyo, SH, M.Hum
Pertanyaan: Apa upaya IKJ dalam melindungi anggotanya yang menjadi korban kekerasan?
Jawaban:
“Kami terus berupaya memperkuat perlindungan bagi jaksa melalui pelatihan manajemen risiko dan kerja sama dengan aparat keamanan. Kasus ini menjadi alarm penting untuk memperketat pengamanan, terutama bagi jaksa yang bekerja dalam kasus sensitif.”
3. Aktivis HAM, Dr. Ratna Sari Dewi
Pertanyaan: Bagaimana pandangan Anda soal penyelesaian kasus penganiayaan jaksa lewat keadilan restoratif?
Jawaban:
“Keadilan restoratif bagus sebagai metode alternatif, namun harus hati-hati jangan sampai mengorbankan prinsip keadilan substantif. Khusus kasus aparat hukum, perlu ada keseimbangan antara penyelesaian damai dan penegakan hukum tegas agar tidak ada kesan impunitas.”
Analisis Mendalam Regulasi Perlindungan Jaksa
Peraturan Kepolisian Nomor 8 Tahun 2021
Peraturan ini memberikan dasar hukum bagi kepolisian untuk menyelesaikan tindak pidana dengan pendekatan keadilan restoratif. Namun, klausul-klausulnya mengatur secara ketat bahwa metode ini hanya berlaku untuk tindak pidana ringan atau yang tidak mengancam kepentingan umum secara besar.
Dalam kasus jaksa yang diserang ini, penerapan keadilan restoratif menjadi sorotan karena secara substantif melibatkan pejabat negara yang sedang menjalankan tugas hukum. Oleh karena itu, regulasi perlu direvisi atau diberi pedoman khusus agar pelaksanaan keadilan restoratif untuk aparat penegak hukum tidak menimbulkan kesalahpahaman atau penyalahgunaan.
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia
UU ini memberikan kewenangan luas kepada jaksa dalam penegakan hukum sekaligus perlindungan yang layak bagi aparat. Pasal-pasal terkait perlindungan terhadap aparat harus ditegakkan dengan serius, terutama dalam situasi di mana aparat menghadapi ancaman atau tindakan kekerasan.
Revisi UU ini diperlukan untuk memperjelas mekanisme perlindungan fisik dan hukum, serta menambah kewenangan bagi Kejagung untuk memberikan perlindungan khusus, termasuk bagi keluarga aparat penegak hukum.
Studi Kasus Perbandingan: Kasus Penganiayaan Aparat di Daerah Lain
Selain Serdang Bedagai, terdapat beberapa kasus serupa yang pernah terjadi di Indonesia:
Kasus di Kabupaten Blora, Jawa Tengah (2022)
Seorang jaksa di Blora mengalami ancaman dan intimidasi fisik saat menangani kasus korupsi besar. Aparat kepolisian setempat langsung memberikan pengamanan ketat, dan Kejagung turun tangan mengawal proses hukum pelaku.
Pendekatan ini diapresiasi karena memberikan sinyal kuat bahwa kekerasan terhadap aparat tidak akan ditoleransi, dan aparat mendapat perlindungan penuh negara.
Kasus di Papua (2023)
Seorang penyidik kejaksaan di Papua menjadi korban serangan saat menjalankan tugas. Pemerintah pusat merespons dengan meningkatkan pengamanan di daerah konflik dan menyediakan bantuan psikologis.
Kasus ini menyoroti tantangan perlindungan aparat di wilayah rawan konflik dan pentingnya koordinasi antarlembaga.
Implikasi dan Prospek Perlindungan Jaksa ke Depan
Dari seluruh kasus dan analisis, dapat disimpulkan bahwa perlindungan aparat penegak hukum, khususnya jaksa, memerlukan perhatian yang berkelanjutan dan terintegrasi antara institusi hukum dan pemerintah pusat.
Perlindungan tidak hanya sekadar reaktif menghadapi ancaman, tetapi harus proaktif melalui regulasi, pelatihan, dan penguatan sistem keamanan. Selain itu, penguatan dukungan psikologis dan sosial bagi aparat dan keluarganya juga sangat vital untuk menjaga keseimbangan kerja dan kehidupan pribadi.
Kesimpulan Akhir
Kasus penganiayaan di Serdang Bedagai adalah cermin dari risiko yang dihadapi aparat penegak hukum di Indonesia. Penanganan yang tepat, sinergi antar lembaga, dan komitmen kuat pemerintah menjadi kunci utama dalam membangun sistem perlindungan yang efektif.
Sebagai institusi penegak hukum yang berperan sentral dalam menjaga keadilan, para jaksa harus dilindungi dengan sepenuh hati oleh negara. Perlindungan ini bukan hanya soal keamanan fisik, tapi juga menjaga martabat, integritas, dan profesionalisme mereka dalam menegakkan hukum.
Dengan langkah-langkah yang terencana dan berkelanjutan, diharapkan ke depan aparat penegak hukum dapat bekerja dengan aman dan bebas dari tekanan, serta mampu menegakkan keadilan secara adil dan merata di seluruh Indonesia.
Rangkuman Eksekutif
Kasus penganiayaan yang menimpa jaksa di Kejaksaan Negeri Serdang Bedagai memicu perhatian besar terkait perlindungan aparat penegak hukum dan keluarganya. Kejaksaan Agung dan Istana Negara berperan aktif dalam menjamin keamanan dan kesejahteraan para jaksa agar mereka dapat menjalankan tugas dengan optimal dan tanpa rasa takut.
Pendekatan penyelesaian kasus melalui keadilan restoratif yang diterapkan di Serdang Bedagai membuka ruang diskusi mengenai efektivitas metode ini khususnya dalam kasus yang melibatkan aparat negara. Regulasi yang ada saat ini perlu disempurnakan agar perlindungan aparat hukum lebih jelas dan menyeluruh.
Studi perbandingan kasus penganiayaan aparat di daerah lain menegaskan perlunya perlindungan yang terintegrasi dan komprehensif, meliputi aspek hukum, fisik, psikologis, dan sosial. Rekomendasi kebijakan seperti penguatan regulasi, pembentukan unit perlindungan khusus, peningkatan pelatihan dan fasilitas keamanan, serta edukasi publik menjadi langkah strategis ke depan.
Dengan komitmen kuat dari Kejagung, Istana, serta seluruh pemangku kepentingan, perlindungan terhadap aparat hukum di Indonesia diharapkan semakin kokoh, menciptakan lingkungan kerja yang aman dan kondusif, serta menjaga keadilan dan demokrasi secara berkelanjutan.
Daftar Pustaka
- Peraturan Kepolisian Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif.
- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
- Kejaksaan Negeri Serdang Bedagai, “Tugas dan Wewenang,” kejari-serdangbedagai.kejaksaan.go.id.
- Wawancara dengan Kepala Kejaksaan Negeri Serdang Bedagai, Dr. Hendra Saputra, SH, MH, Maret 2025.
- Wawancara dengan Ketua Ikatan Jaksa Indonesia, Agus Prasetyo, SH, M.Hum, Maret 2025.
- Dewi, Ratna Sari. “Perspektif HAM terhadap Penyelesaian Keadilan Restoratif,” Jurnal Hukum dan HAM, Vol. 14, No. 2, 2024.
- Laporan Tahunan Kejaksaan Agung Republik Indonesia 2023.
- Presiden Republik Indonesia, “Pidato Rapat Kabinet Terbatas,” Istana Negara, Februari 2025.
Visualisasi Data dan Grafik (Deskripsi)
Untuk lebih memperjelas konteks artikel, berikut beberapa jenis visualisasi yang dapat digunakan:
1. Grafik Kasus Penganiayaan Aparat Penegak Hukum di Indonesia (2018-2024)
Menampilkan jumlah kasus penganiayaan terhadap aparat hukum (jaksa, polisi, hakim) selama 6 tahun terakhir, memperlihatkan tren naik/turun dan daerah rawan.
2. Diagram Alur Penyelesaian Kasus melalui Keadilan Restoratif
Mengilustrasikan tahapan mekanisme keadilan restoratif sesuai Perkap No. 8 Tahun 2021 mulai dari pelaporan, mediasi, kesepakatan damai, hingga pencabutan laporan.
3. Infografis Perlindungan Jaksa dan Keluarga
Menampilkan jenis perlindungan yang disediakan oleh Kejagung dan pemerintah, seperti pengamanan fisik, layanan psikologis, bantuan hukum, serta pelatihan manajemen risiko.
baca juga : Link Twibbon Peringatan Hari Lahir Pancasila 2025 Beserta Cara Membuatnya